Jepang, Pendidikan Karakter Minus Adab
By Administrator Rabu, 10 September 2014 - 08:42:25 WIB 0 Komentar Dibaca: 15726 kali

Jepang bisa menjadi contoh dalam memajukan bangsa dan negaranya melalui pendidikan. Negara matahari terbit ini berada dalam geografis yang kurang menguntungkan, namun bisa berhasil menguasai dunia dalam beberapa bidang terutama dalam bidang otomotif dan elektronik. Pada perang dunia kedua, dua kota besarnya telah porak-poranda akibat dihujani bom atom oleh tentara sekutu yang dipimpin Amerika Serikat, namun dalam waktu yang sangat singkat Jepang bisa bangkit kembali.

Setelah kalah dalam perang, para pengambil kebijakan yang dikepalai oleh Perdana Menteri melakukan pertemuan, dan yang pertama dipertanyakan adalah, berapa jumlah guru yang tersisa. Mengakui kehebatan musuh dan kelemahan diri, sembari melakukan instrospeksi lalu menyusun strategi untuk kembali bangkit—dalam dunia marketing disebut analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats). Keputusan pertemuan tersebut adalah bangsa Jepang telah menyadari kekalahan mereka dalam perang dengan menggunakan senjata, untuk itu mereka akan bangkit dalam peperangan yang lebih dahsyat, yaitu ekonomi. Sejak itulah serangan demi serangan dilanjacarkan Jepang terdap segenap penjuru bumi. Hingga saat ini, dalam setiap rumah yang ada di belahan dunia manapun sulit untuk tidak menemukan kata ‘made in Jepang’, hinggasandal jepit sekalipun identik dengan Jepang.

Bila ditelusuri lebih jauh lagi, budaya thalabul ‘ilmi (proses pendidikan) berkembang di Jepang diperkirakan sekitar tahun 1860-an — 1880-an, bahkan pada tahun 1888 sekitar 30.000 mahasiswa belajar di sekolah swasta yang berada di kota Tokyo dan 80 persen dari total di atas berasal dari kampung. Para mahasiswa yang miskin dan berasal dari luar kota itu, sebagian dibiayai oleh para tuan tanah di kampungnya masing-masing dan yang lainnya bekerja sambil kuliah, ada yang jadi pembantu rumah tangga, menjual surat kabar, penerjamah buku, bahkan ada juga menjadi buruh kasar. Namun tetap dengan bangganya menpopulerkan sebuah slogan, “Jangan menghina kami, kelak kami mungkin menjadi menteri!” Mayoritas dari mereka berasal dari suku Samurai yang tetap ingin hidup dengan terhormat pada zamannya.

Di Jepang, sejak usia dini, karakter telah dibangun dan ditanamkan bahwa pendidikan adalah jalan pintas menuju kesuksesan. Kisah-kisah inspiratif tentang kesuksesan dari Timur ke Barat telah disajikan sejak usia balita, buku tulisan Yukichi Fukuzawa, dengan judul “Dorongan Belajar” pada tahun 1882 terjual 600.000 eksemplar. Salah satu kutipan dalam buku tersebut adalah, “Manusia tidak dilahirkan mulia atau hina, kaya atau miskin, tetapi dilahirkan sama dengan orang lain. Siapapun yang rajin belajar dan menguasai ilmu dengan baik pasti akan menjadi mulia dan kaya, tetapi mereka yang bodoh akan menjadi miskin dan hina”. (Wan Mohd. Nor Wan Daud, Penjelasan Budaya Ilmu,1997).

Sebuah lagu yang ditulis oleh Kinjoro Ninomiya pada tahun 1902. Lagu yang menggambarkan kegigihan penulisnya dalam menuntut ilmu serta berbakti pada masyarakatnya, berikut terjamahan bebas lagunya: “Di pagi yang buta. Dia mendaki gunung. Mencari kayu bakar. Sampai larut malam. Dia menganyam sendal dari jerami padi. Sambil berjalan. Dia tidak pernah berhenti membaca... Dengan rajin dan sederhana dia berhasil dalam pertanian. Dia mengajar ilmu akhlak dan ekonomi...!”

Selain kegigihan dalam menuntut ilmu, orang Jepang juga sangat terkenal dengan etos kerja yang tinggi, disiplin, dan sangat taat aturan. Salah satu contohnya adalah, sulit menemukan sampah berserakan, baik di kota-kota besar apa lagi di pedesaan. Masyarakatnya telah terbiasa hidup bersih dan tidak buang sampah sembarangan. Sebuah budaya yang dalam agama Islam merupakan bagian dari ibadah (Iman). Tidak hanya itu, budaya jujur juga tak kalah dahsyatnya, konon, bila barang kita tertinggal di taksi, tidak usah risau, karena pasti bisa kembali. Di negara itu, jika seorang aparat pemerintah ketahuan korupsi, maka ia akan segera mengundurkan diri. Termasuk mereka yang tak mampu merealisasikan janjinya ketika berkampanye. Sebuah kebiasaan yang nyaris mustahil terjadi di negara-negara muslim, lebih khusus Indonesia.

Kurang Beradab

Manusia-manusia yang kita singgung di atas adalah mereka yang berkarakter dari hasil sebuah proses pendidikan yang mananamkan nilai-nilai kesungguhan (mujahadah) dalam meraih ilmu (fi thalabil ‘ilmi), cinta pada lingkungan (hablum minal ‘alam), kejujuran (as-shidq), amanat (al-amanah), bersikap adil (al-‘adl), tidak semena-mena –daftarnya akan terus berlanjut. Namun perlu dicatat, orang Jepang melakukan amalan-amalan di atas karena memang karakternya telah terbentuk demikian adanya alias dari sononya, bukan dengan latar belakang dan tujuan agama.

Nah, di sinilah bedannya dengan orang Islam. Jika melakukan segenap karakter mulia tersebut dengan landasan dan tujuan agama, maka nilainya akan berlipat ganda, untung dunia akhirat. Karena itulah, hingga saat ini orang Jepang yang bagi kita merupakan negara yang beruntung sebagaimana negara-negara Barat kerap menjadi idola bagi bangsa Indonesia. Tak sedikit penduduk negeri ini berangkat kesana untuk bekerja meraup dollar dan belajar meraih ilmu.

Mungkin juga karena pengaruh kecanggihan teknologi –dalam dunia medis—sehingga orang Jepang memiliki usia relatif lebih panjang dengan bangsa-bangsa lain. Beberapa kajian demografi menyebutkan, dalam sepuluh tahun ke depan, satu dari tiga warga negara Jepang akan berumur di atas 65 tahun.

Namun bukan berarti di negara yang menjadikan bunuh diri sebagai amalan mulia itu tak ada masalah, panjang umur juga menyisakan masalah besar bagi rakyat Jepang. Nilai-nilai keluarga yang memungkinkan dua-tiga-generasi tinggal seatap dan saling merawat sudah semakin pupus. Jumlah orang tua di atas 65 tahun yang tinggal bersama anak cucu mereka pada tahun 1980 mencapai 58 persen. Namun sejak tahun 2010, kemampuan anak cucu itu menampung kakek-neneknya merosot tinggal 18 persen.

Jepang adalah bangsa yang penduduknya semakin hari semakin tua, sehingga produktivitasnya terus merosot. Ditambah biaya hidup yang tinggi, banyak kaum muda tidak lagi bersedia menanggung biaya bagi orang tuanya. Rumah mereka sendiri sempit, pekerjaan kian berkurang sedang biaya hidup semakin memberatkan. Orang-orang tua, yang dulu dibesarkan oleh paman atau bibinya ternyata enggan merawat hari tua orang-orang baik itu, suami atau istri mereka selalu mengingatkan bahwa mereka sendiri sangat membutuhkan tabungan untuk merawat hari tuanya kelak. Jadi para nenek dan kakek yang telah tua renta harus mengurus diri mereka sendiri. Kalau sudah merasa tak diperhatikan, mereka pun memilih tinggal di panti jompo, atau mengambil jalan pintas: bunuh diri. (Koran Sindo, 21 Maret 2013).

Dalam Islam, memuliakan orang tua adalah sebuah keniscayaan dan merupakan pintu masuk surga. Sehebat mana pun kita, jika menelantarkan orang-orang yang mengasuh dan telah membesarkan kita, maka itu tak ada artinya. Kemurkaan Allah atau keridhaan-Nya sangat tergantung pada kedua orang tua. Begitulah adab yang harus dilalui oleh seorang muslim.

Dalam sebuah hadis yang bersumber dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu‘anhu ia berkata aku bertanya kepada Rasulullah, “Amal apa yang paling dicintai Allah? beliau menjawab, ‘Salat tepat pada waktunya’. Lalu aku lagi? beliau menjawab, ‘Berbuat baik terhadap kedua orangtua’. kemudian aku bertanya kembali, apa lagi? ‘Berjihad di jalan Allah,’ jawab Nabi.”

Dalam Islam, pendidikan karakter sebagaimana yang telah ditanamkan pada masyarakat Jepang belumlah cukup, akan lebih sempurna jika ditambah dengan pendidikan adab sejak dini. Adab seorang murid kedapa guru, anak kepada orang tua, dan tak kalah pentingnya, adab kepada Allah, Rasulullah, para sahabat –para pencela sahabat sebagaimana Syiah Rafidhah adalah tindakan biadab—dan orang-orang saleh –salafush shaleh—yang telah mendahului kita. Wallahu a’lam!

Ilham Kadir, Anggota Majelis Intelektual, Ulama Muda Indonesia (MIUMI), dan Peneliti LPPI Indonesia Timur.

sumber: http://ilhamkadirmenulis.blogspot.com (10/9/2014)

 

leave a comment