Agamanisasi Kurikulum Melalui Pendidikan Karakter?
By Administrator Rabu, 10 September 2014 - 08:29:33 WIB 0 Komentar Dibaca: 6681 kali

Dalam berita "Pendidikan Karakter Tak Mudah Diajarkan" di Kompas hari ini (8/9/2014), Direktur Pendidikan Karakter Education Consulting Doni Koesoema mengkritik penilaian spiritual yang terdapat di Kurikulum 2013. Menurut dia, hal itu menyebabkan agamanisasi kurikulum. Penilaian spiritual dimaksud adalah bagian dari sistem penilaian yang terdapat dalam Kurikulum 2013, yang harus dilaksanaan berdasarkan sebuah form yang sudah disiapkan dan harus diisi oleh setiap anak. Lembar penilaiannya dapat dilihat di sini.

 

Saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin pikiran tentang agamanisasi kurikulum bisa muncul dari tokoh pendidikan sekelas Doni Koesoema? Mungkin itu terbit dari kekhawatirannya bahwa pendidikan 18 karakter bangsa yang diusung dalam Kurikulum 2013 tak mudah diajarkan di kelas-kelas sekolah sehingga agama sering menjadi pendekatan untuk mengajarkan karakter. Jika betul demikian, kekhawatiran penulis sejumlah buku tentang karakter ini tak perlu dirisaukan, karena dia sendiri tak punya solusi bagaimana mengajarkan pendidikan karakter yang semestinya.


Saya melihat, kekhawatirannya lebih didasarkan pada sentimen keagamaan belaka. Doni yang lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu sebenarnya ingin menyatakan bahwa jangan-jangan Kurikulum 2014 malah memperkuat pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah. Sebab, karena tidak ada standar jelas untuk mengajarkan pendidikan karakter di Indonesia, maka sekolah-sekolah di sejumlah kabupaten atau kota di Tanah Air beraneka ragam menerapkan pendidikan karakternya. Bahkan, sebagaimana hasil pemantauan Kompas sendiri, sejumlah sekolah cenderung menerapkan pendidikan karakter tersebut dengan agama.


Di SMP Negeri 1 Banda Aceh, misalnya, murid-murid Muslim diwajibkan membaca al-Quran pukul 07.30-07.45 sebelum belajar dimulai. Murid tidak hanya membaca, tetapi juga harus memahami makna setiap ayat al-Quran melalui tafsir. Murid non- Muslim dipersilakan membaca kitab suci masing-masing atau mendengarkan teman-temannya yang Muslim mengaji. "Kami ingin anak-anak selalu ingat Tuhan. Hal ini diharapkan menjadi tameng dalam diri mereka untuk menghindari semua perbuatan negatif," ujar Bukhari, Kepala SMP Negeri 1 Banda Aceh pada Kompas.


Hal yang sama terjadi di SD Negeri Depok Baru 3, Jawa Barat. Abdul Mutolib, guru Agama Islam, meminta anak-anak kelas II tampil ke depan kelas dan membaca surat An-Nas. Serentak, 41 anak berumur 8-9 tahun itu mengacungkan tangan sambil berseru, "Saya, Pak! Saya!"


Abdul pun mempersilakan muridnya untuk mempertunjukkan kebolehan mereka. Ada yang maju seorang diri, ada yang berdua, bahkan ada yang berempat dan berlima. Mereka dengan semangat melafalkan potongan ayat dari al-Qur'an tersebut. Setiap kali murid selesai melafal, Abdul meminta seisi kelas bertepuk tangan dan mengucapkan terima kasih kepada teman yang sudah berani maju.


"Di Kurikulum 2013, sikap merupakan faktor penilaian yang berpengaruh pada hasil akhir sebab kurikulum ini lebih memberatkan pengembangan karakter anak, tidak sekadar menghafal pelajaran," ujar Abdul. Sikap-sikap yang dinilai adalah kesopansantunan terhadap guru dan teman, kesungguhan dalam beribadah, serta kemampuan untuk mengutarakan pendapat dan bekerja sama.


Pendidikan karakter memang menjadi fokus dalam Kurikulum 2013. Karakter yang ingin dikembangkan di SD, SMP, dan SMA berjumlah 18 karakter. Ke-18 karakter tersebut adalah religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta Tanah Air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.


Pantauan Kompas sepanjang pePengembangan karakter diintegrasikan dengan mata pelajaran yang lain. Sebagai gambaran, di SD, pelajaran Matematika, Ilmu Alam, dan Bahasa Indonesia digabung menjadi satu pelajaran tematis. Jadi, murid belajar menghitung jumlah pohon yang ada di pekarangan sekolah sambil belajar bahwa pohon adalah makhluk hidup yang berfotosintesis. Setelah itu, mereka belajar menuturkan dengan bahasa Indonesia yang baik tentang pentingnya menjaga pohon demi lingkungan yang sehat.


Pengamat pendidikan dan anak, Seto Mulyadi, berpendapat, pada dasarnya semua anak punya rasa ingin tahu, jujur, disiplin, dan karakter baik lainnya. Namun, semua karakter baik itu bisa terus tumbuh dalam diri anak, tergantung dari contoh yang diberikan orangtua, guru, dan masyarakat. "Anak-anak kita sekarang banyak yang kehilangan contoh dan keteladanan," ujar Seto Mulyadi pada Kompas.


sumber: ahmadie.me (10/9/2014)

leave a comment